Pada awal penjajahan Belanda pemerintahan Imeum Mukim dibiarkan melaksanakan tugasnya sesuai dengan susunan dan struktur masyarakat hukum adat. Lambat laun para Imeum Mukim mulai dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan Belanda, walaupun secara politis dan formal pemerintahan Kolonial Belada mengakui dan menghormati serta mempersilakan adat dan hukum adat dapat digunakan sebagai landasan hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik kolonialisme. Kemudian pemerintah kolonialis Belanda mengeluarkan Regeeringsreglemen (RR) 1854 yang dalam Pasal 71 mengatur antara lain:
- Bahwa desa yang dalam peraturan disebut Inslandsche gemeenten atas pengesahan Kepala Daerah (Residen) berhak memilih kepala pemerintahannya sendiri.
- bahwa Kepala Desa diserahi hak untuk mengatur, dan mengurus rumahtangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang keluar dari Gubernur Jenderal atau dari Kepala Daerah (Residen).
Untuk Aceh kedua peraturan tersebut tidak pernah diberlakukan sebab tidak ada persekutuan hukum (Gampong dan Mukim) yang dianggap setara dengan Desa menurut IGO atau IGOB. Dalam Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad 1927 Nomor 227 Pasal 324 menyebutkan bahwa untuk Aceh, Kepala Desa yang ditugaskan menjalankan kepolisian dan mengsust keterangan-keterangan adalah adalah Keuchik dan Imeum Mukim. Secara khusus diatur mengenai pemerintahan Imeum Mukim dan Besluit van den Gouvernuer General van Nederland Hidie tanggal 18 Nopember Tahun 1937 Nomor 8. Besluit ini mengubah nama Mukim menjadi Imeum Schaap sedangkan pemeimpinnya tetap disebut Imeum Mukim.
Tidak banyak yang dapat dikemukakan mengenai Imeum Mukim pada masa penjajahan Jepang. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 diatur segala sesuatu mengenai peralihan pemerintahan dari pemerintahan Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang. Pasal 2 Undang-Undang Tersebut menyatakan, “ Pembeasar Balatentara Dai Nippon memegang kekeuasaan pemerintahan Militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada pada Gubernur Jenderal”.
Berdasarkan Osamu Seirei Nomor 27 Tahun 1942, ditetapkan susunan pemerintahan di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
- Pucuk pimpinan Pemerintahan Militer Jepang ada ditangan Panglima Tentara yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan;
- Di bawah panglima ada kepala pemerintahan militer disebut dengan Gunseikan;
- Dibawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer yang disebut dengan Gunseibu;
- Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan, dan merupakan pemerintahan daerah tertinggi;
- Daerah Syu terbagi atas kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken);
- Ken terbagi atas beberapa Gun (kewedanaan);
- Gun terbagi atas beberapa Son (kecamatan);
- Son terbagi atas beberapa Ku (Desa);
- Ku terbagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sumber :
- Qanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
- Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim di AcehMahdi Syahbandir
No comments:
Post a Comment